Gembira Berhari Raya
Maguwo, Yogyakarta-Idul Adha merupakan hari raya besar. Disebut hari raya saja, sebenarnya maknanya sudah sesuatu yang besar. Tetapi, khusus Idul Adha, penyebutan besar bukanlah pleonasme atau pemborosan bahasa. Ia semacam taukid: isyarat untuk mempertegas.
Sebagian masyarakat Jawa menyebut Idul Adha sebagai riyoyo besar. Sebutan ini tidak disematkan kepada Idul Fitri, meskipun sama-sama hari raya. Untuk Idul Fitri, masyarakat Jawa pada umumnya cukup menyebutnya sebagai riyoyo saja.
Idul Adha memang hari raya besar. Dari sisi syar’i, kandungan hikmah dan pelajaran pada Idul Adha memang sangat besar. Kita tentu sudah mafhum akan kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan putra beliau, Ismail ‘alaihis salam. Kisah yang mengajarkan kepada kita akan kepatuhan dan keikhlasan yang luar biasa agung dari
seorang hamba kepada Sang Kholiq. Sebuah kepatuhan mutlak kepada perintah Alloh yang, bisa jadi, sulit diterima nalar orang zaman sekarang yang semakin materialistis.
Idul Adha merupakan hari raya besar. Kebahagiaan di dalamnya berlipat-lipat. Bukan hanya bahagia karena mendapat atau menerima daging kurban. Akan tetapi, juga kebahagiaan shohibul kurban karena bisa berbagi. Dari sisi syar’i, keutamaan orang yang berkurban sungguh besar. Dari sisi kepuasan batin, berbagi kepada sesama dapat mendatangkan kebahagiaan yang luar biasa. Apalagi, dapat berbagi dalam semangat gotong royong dan kekeluargaan yang kental….
Bagi para santri Pesantren de Muttaqin, Idul Adha menjadi hari raya yang kebahagiaannya sungguh terasa. Idul Adha menjadi momentum bagi para santri untuk bertemu dan bersosialisasi dengan warga sekitar dalam suasana gotong
royong yang meriah. Kegembiraan yang, mudah-mudahan, membekas dalam jiwa mereka dan menjadi benih-benih kepedulian yang indah.
Di pesantren, para santri juga mendapat jeda dari rutinitas kegiatan yang padat. Hari itu, mereka dibebaskan untuk benar-benar menikmati kegembiraan hari raya. Mereka melihat proses pemotongan hewan kurban sampai ikut menyiapkan daging untuk disate. Semua terlibat dalam kesibukan dengan gembira. Seakan-akan, hari itu, atribut struktural pesantren ditanggalkan sejenak. Tak ada mudir, tak ada kepala sekolah, tak ada ustadz, tak ada santri. Hanya ada sebuah keluarga besar yang sedang bergembira bersama…. (teks & foto: Joko)
Leave a Reply